Harga ikan asin bisa lebih tinggi dari daging sapi. Begitulah celoteh ibu rumahtangga.
Ikan asin jambal roti, teri putih (teri nasi) dan teri medan, sepat tanpa
kepala dan gabus asin memang selalu di atas harga daging sapi. Kalau rata-rata
daging sapi kualitas baik sekitar Rp 35.000,- per kg, maka harga ikan-ikan asin
tersebut selalu di atas Rp 35.000,- di tingkat konsumen (rata-rata per ons Rp
4.000, sd. 6.000,-). Salah satu ikan mahal tersebut adalah gabus. Ikan ini
disukai masyarakat karena citarasa dagingnya yang lezat dan sangat khas.
Durinya sedikit dan mengumpul. Selain itu, ikan asin gabus relatif bersih
karena sebelum diasin sudah dibelah serta dibersihkan sisik, insang serta isi
perutnya. Mahalnya harga ikan asin ini tentu saja tak terlepas dari hukum
pasar. Permintaan lebih tinggi dari pasokan. Selama ini ikan gabus memang belum
bisa dibudidayakan (dalam arti dipijahkan = dibenihkan). Beda dengan ikan air
tawar lainnya seperti mas, nila, lele dan gurame yang sudah bisa dipijahkan
massal, baik secara alamiah (nila, gurame) maupun buatan (mas, lele). Jadi
budidaya gabus (dalam arti pembesaran), selama ini masih harus mengandalkan
benih tangkapan dari alam. Terutama dari rawa-rawa serta waduk. Salah satu
penghasil gabus yang terkenal adalah waduk Cacaban di dekat Slawi, Kab. Tegal,
Jawa Tengah. Hampir seluruh hasil ikan gabus dari Cacaban dibuat ikan asin.
Ikan asin jambal roti, memang lebih terkenal dibanding gabus. Namun saat
ini sudah banyak konsumen yang mengetahui, bahwa ikan asin ini proses
produksinya sering tidak higienis. Sebenarnya proses produksi ikan asin yang
benar adalah dengan "memeramnya" dalam kristal garam. Baik jambal
roti maupun maupun gabus selalu dibelah terlebih dahulu, dibuang insang serta
isi perutnya, baru kemudian ditata dalam wadah penggaraman. Mula-mula ke dalam
wadah tersebut (biasanya drum plastik), ditaruh lapisan garam, baru kemudian
ikan, garam lagi, ikan lagi dan seterusnya. Bagian bawah wadah diberi lubang
untuk mengalirkan cairan ikan. Karena sifat garam yang higroskopis (menyerap
air), maka cairan daging ikan itu akan diserap keluar oleh garam. Selanjutnya,
cairan yang sebelumnya mengisi jaringan daging ikan, akan tergantikan oleh
garam. Cairan ikan yang dikeluarkan garam itu akan menetes melalui lubang di
bagian bawah wadah. Setelah cairan tidak menetes, wadah harus dikontrol. Apakah
garamnya masih ada atau sudah habis. Kalau garamnya masih ada, berarti seluruh
cairan ikan sudah terkeluarkan. Tetapi kalau garamnya habis, ada kemungkinan
cairan ikan masih tersisa dan belum seluruhnya terserap oleh garam. Untuk itu,
tumpukan ikan harus dibongkar dan diberi garam lagi seperti semula. Demikian
dilakukan sampai cairan tidak lagi menetes, tetapi garam masih ada. Kondisi ini
menunjukkan bahwa seluruh air dalam jaringan tubuh ikan sudah tergantikan oleh
garam. Selanjutnya, dilakukan penjemuran.
Penjemuran ikan dalam proses pembuatan ikan asin, bukan dimaksudkan untuk
"menguapkan" seluruh air, tetapi sekadar untuk lebih mengeringkan
permukaan ikan. Jadi, proses utama pembuatan ikan asin bukan terletak pada
penjemuran, melainkan penggaramannya. Inilah yang sering dikelirukan oleh
produsen maupun konsumen ikan asin. Konsumen yang "bodoh" selalu akan
menanyakan, apakah ada ikan asin yang "tidak terlalu asin" atau
malahan yang tawar. Memang ada ikan kering (bukan ikan asin) yang tawar. Tetapi
biasanya ikan demikian berupa ikan yang tipis-tipis (misalnya belis) atau ikan
besar (misalnya pari) yang disayat tipis-tipis. Kalau ikan itu cukup tebal,
misalnya jambal roti dan gabus, mutlak harus digarami sampai jenuh baru
dijemur. Karena proses penggaraman ini bisa berlangsung sampai 2 hari bahkan
lebih, maka banyak produsen yang tidak sabar. Kebetulan ada juga konsumen yang
senangnya ikan asin "tawar". Maka proses pengasinan jambal roti pun
dipersingkat hanya sehari atau kurang. Akibatnya, pada waktu penjemuran, bagian
dalam ikan yang belum terisi garam akan mengalami pembusukan. Lalat pun akan
merubung ikan asin yang "kurang asin" ini. Untuk mengusir lalat,
produsen tidak segan-segan menyemprotkan racun serangga termasuk DDT bahkan
Baygon.
Teknologi pengasinan jambal roti pun berkembang. Untuk mencegah pembusukan,
produsen sengaja menambahkan antibiotik murah (biasanya untuk ternak), asam
benzoat bahkan juga formalin yang lazim digunakan untuk mencegah pembusukan
pada mayat. Lembaga Konsumen masih belum menerima laporan pembuatan ikan asin
yang "luarbiasa" ini. Lebih-lebih pemerintah, dalam hal ini Dinas
Perindustrian dan Perdagangan. Hampir semua ikan asin mahal proses pembuatannya
tidak higienis. Bahkan sekarang juga termasuk ikan asin murahan seperti layang,
tembang dan japu. Yang proses pembuatannya masih murni (hanya menggunakan
garam) adalah peda (putih maupun merah), sepat dan gabus. Peda sulit untuk
diberi formalin atau pengawet lainnya, sebab dalam penggaraman, sekaligus harus
terjadi fermentasi hingga timbul aroma khas peda. Dengan diberi pengawet, aroma
khas peda ini tidak akan muncul. Pada sepat dan gabus, penggunaan pengawet ini
juga tidak dilakukan, karena volume ikan yang digarami, tidak pernah dalam
jumlah banyak sekaligus. Sepat adalah ikan "liar" yang ditangkap di
perairan sungai di Kalimantan, sementara gabus lazim ditangkap di perairan
(rawa atau waduk) di Jawa.
Sebenarnya, gabus berpeluang untuk dibudidayakan secara serius, meskipun
proses pemijahannya belum bisa dikalukan secara buatan. Hanya saja, sebagai
ikan carnifora (pemakan daging) sekaligus predator, gabus harus diberi makan
secara ekonomis. Cara yang paling populer adalah dengan memelihara gabus
bersamaan dengan nila. Sebagimana kita ketahui, nila berpijah secara alamiah di
tempat pemeliharaan. Telur nila akan "dierami" induknya di dalam
mulut sampai menetas. Kemudian setelah menetas pun, sampai ukuran tertentu,
anak nila ini akan tetap dipelihara dalam mulut sang induk. Baru kemudian
setelah dirasa cukup kuat, anak-anak ikan ini akan disapih. Nila adalah ikan
herbifora (pemakan lumut dan plankton). Tetapi dewasa ini, nila sudah lazim
diberi pelet untuk memacu pertumbuhannya. Kalau nila dipelihara bersama dengan
gabus, maka anak-anak nila inilah yang akan jadi santapan sang gabus. Sementara
induk nilanya akan menjadi besar tanpa takut dimangsa gabus. Pertama-tama
dilakukan penebaran calon induk nila, seukuran tiga jari. Apabila diberi pelet,
dalam waktu kurang lebih sebulan, nila sudah akan menghasilkan anak. Pada saat
itulah ditebar gabus ukuran satu jari. Dalam jangka waktu 3 sd. 4 bulan sudah
akan dihasilkan nila seukuran telapak tangan dan gabus seukuran tiga jari.
Untuk menghasilkan gabus dengan bobot 0,5 kg, diperlukan jangka waktu
pemeliharaan 6 sd. 8 bulan.
Tentu akan timbul pertanyaan. Dari mana asal-usul benih gabus ukuran satu
jari. Sebab benih tangkapan dari alam yang disebut sebagai impun, ukurannya
baru sepanjang 1,5 sd. 2,5 cm. Benih yang masih sangat kecil tersebut, oleh
para peternak ikan akan dibesarkan dalam bak pembesaran benih atau akuarium.
Pakannya mulai dari artemia, jentik nyamuk dan cacing sutera. Setelah mencapai
panjang 5 cm. benih gabus itu sudah bisa menelan cacing tanah, keong atau
bekicot yang dicincang halus. Pakan ini diberikan terus sampai anakan gabus
tersebut mencapai ukuran satu jari atau sepanjang 10 cm. Pada saat itulah gabus
sudah berani untuk ditebar di kolam pembesaran bersama dengan induk nila. Lele
dumbo (bukan lele lokal) dan jambal siam (lele bangkok = Pangasius suchi) atau
yang oleh masyarakat disebut sebagai "patin" sebenarnya juga
merupakan ikan predator yang carnifora. namun ikan ini sudah bisa dipijahkan
secara buatan, hingga sejak telur menetas, mereka sudah terbiasa diberi pakan
buatan. Selanjutnya, lele dan "patin" ini akan terbiasa mengkonsumsi
pelet. Gabus, sulit untuk diberi pelet sebab anakan ikan ini dipijahkan secara
alamiah di perairan lepas. Hingga sifat liarnya sulit untuk diubah menjadi
perilaku ikan budidaya yang bersedia mengkonsumsi pelet.
Alternatif lain pemeliharaan gabus adalah dengan menggabungkannya dalam
sebuah unit peternakan ayam atau itik. Mortalitas ternak ayam itik yang
ditoleransi adalah sekitar 2 sd. 5% dari populasi per bulan. Kalau yang
dipelihara 1.000 ekor, maka tiap bulannya akan ada 20 sd. 50 ekor ayam atau
itik mati yang harus dikubur atau dibakar. Dengan memelihara gabus, itik dan
ayam mati ini akan menjadi pakan alamiah dari ikan pemakan daging tersebut.
Agar kolam tetap higienis, sebelumnya bangkai ayam dan itik itu perlu dibakar
sampai betul-betul matang. Setalah itu baru dimasukkan ke dalam kolam. Tujuan
pembakaran, selain untuk merangsang nafsu makan gabus, juga agar bibit penyakit
yang ada dalam tubuh ayam dan itik itu bisa musnah. Selain digabungkan dengan
peternakan ayam dan itik, peternakan gabus ini juga bisa memanfaatkan kelinci
dan marmut. Dua ternak pemakan rumput ini sangat cepat berbiak, namun
masyarakat kurang menyukai dagingnya. Salah satu alternatifnya adalah beternak
kelinci dan marmut untuk konsumsi ikan gabus. Pada peternakan kelinci,
lebih-lebih kelinci Rex, keuntungannya ada dua. Pertama kulit kelinci itu
merupakan hasil utama. Baru kemudian dagingnya dimanfaatkan untuk pakan gabus.
Dengan cara kreatif demikian, kebutuhan ikan asin gabus akan terpenuhi. Bahkan
apabila volume ikan gabus makin besar, pasar segarnya pun masih cukup baik daya
serapnya. (R)
***