Pengelolaan budidaya air payau (tambak) di Kalimantas Selatan tidak bisa
disamakan dengan pengelolaan tambak di Pulau Jawa, ini disebabkan karena hampir
90 % lokasi tambak di Kalimantan selatan merupakan tanah sulfat masam, karena
itu pengelolaannya harus disesuaikan dengan kondisi tersebut.
Tanah sulfat masam
adalah sedimen pantai yang mengandung suatu mineral yang disebut pirit (FeS2),
biasanya sedimen dalam kondisi anaerob dan berada dibawah lapisan tanah pada
kedalaman sekitar 30 cm yang tergolong tanah muda (alluvial) dari hasil endapan
setelah terjadi banjir dan pasang tinggi, letak pertikal lapisan tanah yang
mengandung pirit sampai dekat dengan muka laut rata-rata.
Pada saat terangkat
untuk keperluan konstruksi pada budidaya udang dan ikan (pembuatan pematang,
pengairan dan pengangkatan lumpur), maka pirit akan teroksidasi dan selanjutnya
menghasilkan asam sulfat. Asam yang
terlepas dari pirit menyebabkan kemasaman tanah, air tambak dan meningkatkan
kelarutan logam yang beracun.
Secara umum bahwa tanah
sulfat masam berada pada daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut, namun lebih
khusus lagi pada daerah mangrove, rawa pantai, dataran pantai dan pada berbagai
lahan basah yang dekat dengan laut dan muara sungai.
Tambak udang yang
dibangun pada tanah sulfat masam biasanya menunjukan hasil panen yang rendah,
kematian massal udang dan biaya pengelolaan yang tinggi, beberapa kegiatan
budidaya gagal atau produktivitas rendah.
Dengan berbagai
pendekatan praktis, tanah sulfat masam dapat diindentifikasi di lapangan, untuk
membantu pelaku utama perikanan agar mereka dapat menentukan keberadaan tanah
sulfat masam pada lahan mereka.
Tanah sulfat masam dapat
menyebabkan berbagai masalah produksi antara lain; laju pertumbuhan udang/ikan
rendah, kematian masal pada udang/ikan, adanya partikel besi pada insang,
tingkat kepadatan alga yang bermanfaat rendah, kebutuhan kapur dan pupuk yang
tinggi, kondisi stok udang/ikan yang rendah, kerusakan dan kebocoran pematang
tambak, toksisitas hidrogen sulfida, suspensi partikel besi dalam air, pH
rendah dan alkalinitas air yang rendah.
Jika pada lahan pelaku
utama perikanan terdapat dua atau lebih masalah produksi tersebut, maka
kemungkinan bahwa lahan tambak tersebut termasuk tanah sulfat masam. Beberapa
indikator biologis dan indikator tanah yang menunjukan keberadaan tanah sulfat
masam di daerah pantai adalah :
1. Tumbuhan Nipa/Nipah yang tumbuh pada daerah jangkauan pasang
surut, menandakan bahwa tanah sulfat masam ada pada lahan.
2. Tanaman mangrove berupa kalipata/buta-buta, rambai, jeruju,
beluntas dan pakis air/piai menandakan adanya sulfat masam.
2 3. Adanya gundukan tanah hasil buangan kepiting lumpur/undang
ayu.
4 4. Rumput teki merupakan rumput rumputan yang lazim ditemukan
dan sangat beradaptasi dengan lingkungan yang mengandung tanah sulfat masam.Hutan dengan komposisi vegetasi di daerah pantai dan estuarin
juga kemungkinan mengandung tanah sulfat masam.
6 5. Jarosit mineral warna kuning terjadi bila tanah teroksidasi.
7 6. Warna abu-abu dari tanah hasil galian, merupakan ciri khas
dari pirit (FeS2).
8 7. Rendahnya pH lapang dan pH setelah oksidasi.
8, Indikator
biologis keberadaan tanah sulfat masam :
Jika
pada lahan pertambakan telah ditemukan beberapa indikator seperti mangrove,
nipah, jarosit, pH tanah <4 dan kepiting lumpur, maka lahan tersebut dikategorikan sebagai
tanah sulfat masam.
Langkah pengelolaan
yang harus dilakukan, jika sudah diyakini kalau tambak yang dikelola
adalah tambak sulfat masam, maka beberapa alternatif pengelolaan yang dapat
dilakukan :
1. Jika memungkinkan, bangun kembali pematang tambak dengan
mencampurkan kapur pada tanah yang akan digunakan.
2. Hindari pengangkatan material dasar yang mengandung pirit ke
atas pematang atau jika memungkinkan gunakan tanah yang bukan tanah sulfat
masam.
3. Hindari penelantaran tambak dalam waktu yang lama, jika tidak
akan digunakan dalam jangka waktu yang lama, biarkan tambak terus dalam kondisi
tergenang.
4. Perhatikan aspek keteknikan dalam konstruksi pematang
(tinggi, panjang, serta lebar pematang).
e.
Gunakan tabel standart pengapuran untuk tanah sulfat masam
dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) atau minta petunjuk dari
instansi terkait.
5. Upayakan untuk menumbuhkan rumput atau vegetasi lain yang
dapat membantu mengurangi oksidasi.
6. Gunakan pupuk dengan dosis yang sesuai beberapa hari setelah
pengapuran untuk menjaga agar pupuk yang diberikan betul-betul dapat bermanfaat
bagi pertumbuhan alga atau plankton yang bermanfaat.
7. Jika besi nampak pada air tambak, upayakan pembilasan untuk
mengencerkan konsentrasi besi hidroksida yang berbahaya tersebut.
8. Perhatikan juga beberapa syarat teknis budidaya, misalnya
kondisi dan sumber benur, aklimatisasi, pemberian pakan dan pengontrolan
penyakit.
Selain
memperhatikan hal-hal tersebut diatas sebelum pelaksanaan pemeliharaan, tambak
tanah sulfat masam perlu dilaksanakan kegiatan pendahuluan yakni :
a.
Remediasi.
Remediasi
merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi unsur-unsur toksik di tanah
atau di air tanah, prinsif remediasi adalah pengeringan tanah untuk
mengoksidasi pirit, perendaman untuk melarutkan dan menetralisir keasaman atau
menurunkan produksi keasaman lanjut, dan pencucian untuk membuang hasil
oksidasi dan meminimalkan cadangan unsur-unsur toksik dalam tanah.
Sebelum
tanah tambak sulfat masam diremediasi, pematang dan pintu air diperbaiki, tanah
pelataran tambak dicangkul sedalam 20-30 cm agar permukaan tanah bertambah luas
sehingga proses oksidasi lebih baik.
Pengeringan tanah
pelataran tambak dilakukan selama 2 minggu atau lebih tergantung terik
matahari, oleh karena itu disarankan agar pengeringan tanah tambak dilakukan
pada musim kemarau dan kondisi surut rendah.
Selanjutnya tambak diisi
air, usahakan air yang bersalinitas tinggi > 15 ppt dengan tinggi air sampai
50 cm. Biarkan tambak terendam selama 1 minggu dan air rendaman dibuang,
selanjutnya diiisi kembali seperti tadi, kemudian dibuang kembali. Ulangi proses remediasi sebanyak 2 atau 3 kali
sampai kondisi tanah sudah lebih baik.
Usahakan air rendaman
dibuang pada saat surut rendah agar air rendaman yang mengandung unsur-unsur
toksik dapat terbilas sempurna.
Apa hasil remediasi?;
Pada saat tanah sulfat masam terjemur, terjadi oksidasi pirit dan pada saat
direndam hasil oksidasi akan larut dalam air rendaman dan selanjutnya akan
terbuang bersama air buangan. Dengan
melakukan proses tersebut berulang kali, maka unsur-unsur toksik yang juga
merupakan unsur penyebab kemasaman tanah dapat berkurang, akibatnya pH tanah meningkat ke netral
(sekitar 6).
Dengan kondisi demikian,
maka pupuk yang diberikan akan lebih efisien, sebab unsur hara akan lebih tersedia
untuk pertumbuhan makanan alami seperti plankton dan klekap. Berkurangnya unsur-unsur toksik dapat
meningkatkan sintasan dan pertumbuhan ikan yang dibudidayakan, dengan
melimpahnya makanan alami dan kualitas lingkungan yang lebih baik berdampak
pada peningkatan produktivitas tambak, terutama tambak yang dikelola dengan
teknologi tradisional dan teknologi madya.
Tanah sulfat masam yang
mengandung unsur-unsur toksik seperti Al, Fe dan Mn, dapat diatasi dengan
pemberian kapur yang berfungsi; meningkatkan pH, mengurangi aluminium dan besi,
meningkatkan ketersediaan unsur fosfor, kalsium dan magnesium, meningkatkan
persentase kejenuhan basa dan memperbaiki total alkalinitas di air.
Pengapuran tambak tidak
hanya dilaksanakan di pelataran saja, ternyata pengapuran pada pematang sangat
berpengaruh terhadap pengurangan unsur-unsur toksik. Hasil penelitian menunjukan bahwa
teroksidasinya senyawa pirit (FeS) yang paling intensif pada tambak tanah
sulfat masam terjadi pada gundukan tanah hasil galian seperti; pematang tambak,
gundukan tanah pada lubang kepiting lumpur (Thalassina
anomala). Oleh karena itu pematang
menjadi fukos perhatian dalam mengaplikasian kapur dibandingkan dengan dasar
pematang yang senantiasa terendam selama kegiatan budidaya.
Kapur yang baik
digunakan berupa kapur karbonat seperti kalsit (CaCO3) dan dolomit
(CaMg(CO3)2), Kapur oksida atau kapur tohor (CaO) dan kapur hidrat atau kapur
tembok (Ca(OH)2. Biasanya dolomit dan
kalsit yang lebih umum digunakan oleh petani tambak, kapur dolomit memiliki
pengaruh lebih lama, mudah diperoleh, tidak meninggalkan residu dan kecepatan
reaksi lebih lambat.
Penggunaan kapur
biasanya berdasarkan nilai pH tanah dan tekstur tanah, dengan metode langsung
disebar secara merata pada dasar tambak dan permukaan pematang. Metode lain yang telah diujikan adalah dengan
menghitung kebutuhan kapur berdasarkan persentase sulfur yang dapat teroksidasi
yang merupakan indikator potensi kemasaman pada tanah tambak sulfat masam. Metode ini terutama diperuntukan pada
konstruksi awal pematang atau pada saat proses perbaikan pematang (kedok teplok), sedangkan untuk dasar
tambak tetap mengacu pada metode disebar langsung secara merata.
Kebutuhan kapur tanah pematang berdasarkan nilai pH dan
Sulfur (Spos)
pH
|
Spos (%)
|
Kg
kapur/ton
Tanah
yg dibutuhkan
Faktor
aman=1,5
|
Perkiraan
Biaya/meter
Lari
pematang
(Rp.)
|
0-3
|
0,02
|
0,94
|
1.110
|
0,03
|
1,4
|
1.654
|
|
0,06
|
2,8
|
3.308
|
|
0,10
|
4,7
|
5.552
|
|
0,20
|
9,4
|
11.104
|
|
0,30
|
14,0
|
16.538
|
|
>3-5
|
1,00
|
46,8
|
55.283
|
5,00
|
Biaya konstruksi tinggi
|
||
>5
|
>5,00
|
Tidak direkomendasikan
|
Sumber : BRPBAP Maros
Keterangan :
-
Kg kapur yang dibutuhkan = kg CaCo3/ton material
-
Biaya/meter lari = perhitungan untuk pematang lebar atas 1,0
m, tinggi 1,5 m dan lebar dasar 2,5 m lama aplikasi efektip 4 tahun; berat
jenis = 1 g/cm3 atau volume 1 m lari pematang = 2,62 kg, harga kapur =
Rp.450,-/kg.
-
pHf = pH tanah yang diukur langsung di lapangan pHfox = pH
tanah yang diukur di lapangan setelah ditambahkan hidrogen peroksida (H2O2)30
%.
Pembesaran komoditas
perikanan di Tambak Tanah Sulfat Masam :
1. Udang Windu
Perbaikan tanah dengan cara remediasi yang meliputi
pengeringan, perendaman, pencucian dan pengapuran dilakukan sebelum persiapan
tambak. Pada tahap pengapuran, dosis
kapur yang digunakan adalah 1.000-1.875 kg/ha.
Dalam persiapan tambak dilakukan pemberantasan hama dengan
saponin 20 mg/l dan pemupukan urea dan TSP masing-masing 100 kg/ha. Selama pembesaran dilakukan penggantian air
sebesar 40% dari volume pada saat pasang tinggi dan pemupukan susulan sebesar 10% dari pupuk dasar setiap 10 hari
sampai pemeliharaan 2 bulan.
Pakan buatan dengan dosis 10-2% bobot badan/hari diberikan
setelah pemeliharaan 2 bulan dengan frekuensi pemberian 2 kali/hari, 10 % pada
umur 2-3 bulan dan 2% pada umur 3-3,5 bulan.
Dengan menebar tokolan udang windu (PL 35) rata-rata 12.850 ekor/ha,
dapat diperoleh produksi rata-rata 176 kg/ha dengan sintasan 49% dan bobot
rata-rata 28 g/ekor setelah dipelihara selama 102 hari.
Dalam persiapan tambak dilakukan pengeringan tanah sampai
retak-retak, pemberantasan hama dengan saponin dosis 20-30 mg/l, pemupukan urea
dan TSP masing-masing 100-200 kg/ha.
Sebelum persiapan tambak dilakukan perbaikan tanah melalui remediasi, padat
penebaran yang diterapkan 6.000 ekor/ha.
Pergantian air dilakukan setiap menjelang pasang tinggi, pemupukan
susulan dilakukan 10 hari setelah penebaran dengan dosis 10% dari dosis pupuk
dasar sampai pemeliharaan bandeng berumur 2 bulan.
Pemberian pakan berupa pellet dilakukan pada umur 2 bulan
hingga panen dengan dosis pakan yang diberikan 10-2% dari bobot badan/hari yang
diberikan 3 kali/hari. Setelah
pemeliharaan selama 120 hari diperoleh produksi 1.270 kg/ha dengan sintasan 92
% dan bobot rata-rata 230 g/ekor.
Setelah remediasi tanah, dilanjutkan dengan pemberantasan
hama dengan saponin dosis 20-30 mg/l, pengapuran pada dasar tambak dengan dosis
2 ton/ha dan pematang tambak 0,5 kg/m.
Pemupukan urea dan TSP masing-masing dengan dosis 100-200 kg/ha. Tinggi air tambak dipertahankan antara 80-100
cm.
Nila merah jantan (kelamin tunggal) dengan bobot rata-rata 6
g/ekor ditebar dengan kepadatan 6.000 ekor/ha.
Pemberian pakan tambahan berupa pellet dilakukan setelah persediaan
pakan alami di tambak tidak mencukupi.
Dosis pakan yang diberikan 20-2% bobot badan/hari yang diberikan 2
kali/hari. Produksi nila merah setelah
dipelihara selama 120 hari mencapai 415 kg/ha.
4. Kepiting Bakau
Tambak terlebih dahulu dipasangi pagar bambu pada bagian
dalam pematang setinggi 1,25 m diatas pelataran tambak dan 50 cm tertanam pada
dasar tambak. Setiap petak diberi ban
bekas 10 buah/1.000 m2 sebagai pelindung.
Dalam persiapan tambak dilakukan pemberantasan hama dengan
saponin dosis 20 mg/l, pengapuran dosis 2 ton/ha, pemberian pupuk urea dan TSP
masing-masing 200 kg/ha dan 100 kg/ha.
Kepiting bakau dengan berat awal 28 g/ekor ditebar dengan
kepadatan 1 ekor/m2. Rasio jantan :
betina 1 : 1. Pakan yang diberikan
berupa ikan rucah kering sebanyak 5% berat badan/hari. Pergantian air dilakukan setiap hari sekitar
10% dari volume total secara gravitasi.
Pengapuran sebanyak 2
kg/m2 pematang ditebar merata pada pematang, dilakukan setiap 2 minggu. Berat kepiting bakau setelah dipelihara
selama 98 hari dapat mencapai 166 g/ekor
No comments:
Post a Comment